Sejatine Urip Mung Ngampung Dolan

Responsive Ads Here

Saturday, November 11, 2017

Ramalan Jawa yang sedang terjadi di Indonesia


Apakah anda termasuk orang yang percaya akan ramalan? atau justru tidak percaya dan menganggap bahwa mempercayai ramalan adalah perbuatan syirik menurut agama?

Jika anda termasuk dalam kategori pertama, tulisan ini akan memberi informasi tentang ramalan dari kitab Jawa kuno karya KGPAA Mangkunegara IV yang berjudul Serat Wedhatama.

Namun bagi anda yang tidak mempercayai ramalan, ada baiknya juga anda melanjutkan dulu membaca sampai beberapa paragraf, supaya ada pemahaman dari sudut yang berbeda tentang ramalan dan Kitab Jawa Kuno.

Apa yang saya tulis disini, adalah hasil saduran dari buku yang sedang saya baca, judulnya Intisari Kitab-kitab Adiluhung Jawa Terlengkap, karya Soedjipto Abimanyu, terbitan Laksana-Jogjakarta, cetakan pertama tahun 2014.



Buku ini saya beli ketika berkunjung ke Bursa Buku Bondowoso bulan September lalu. Harga yang awalnya dibandrol Rp. 120,000 setelah diskon menjadi Rp. 60,000 saja, waahh senangnya!

Dalam buku ini dituliskan beberapa intisari kitab-kitab Jawa Kuno, karya para pujangga termasyhur dijamannya. Ada lima belas kitab yang diceritakan pada buku ini yaitu : Jangka Jayabaya, Serat Kalatidha, Serat Wedharaga, Serat Candrarini, Serat Nitisruti, Serat Darmawasita, Serat Pepali, Serat Wulangreh, Serat Sastra Gendhing, Serat Centhini, Suluk Syekh Malaya, Suluk Sujinah, Serat Sabdatama, Serat Wedhatama dan Serat Cipta Waskitha.

Membaca buku ini membuat saya malu sekaligus terkagum-kagum akan karya pujangga Nusantara. Bagaimana tidak malu? jika saya sebagai orang Jawa tapi tidak mengenal kitab-kitab ini, yang jelas-jelas mengandung ilmu amat sangat berharga didalamnya.

Bahkan beberapa Kitab sudah diterjemahkan kedalam bahasa asing dan digemari pula oleh bangsa asing, karena kemasyhuran ilmu yang dikandung kitab tersebut. Sedangkan kita anak cucunya tidak mau mempelajari serta mengamalkan isinya dalam kehidupan sehari-hari.



Dulu sebelum saya mau "membuka hati dan pikiran" lebih banyak akan ilmu-ilmu yang baru saya kenal, dan masih tergabung pada "kelompok pengajian aliran saklek", saya termasuk orang yang memantangkan diri terhadap hal-hal yang saya anggap klenik dan menurut mereka cenderung berbau bid'ah.

Sayapun ikut-ikutan menuduh orang lain yang saya anggap berbeda dengan aliran saya sebagai orang yang melakukan "bid'ah" serta tidak memurnikan ajaran Islam. Padahal ilmu saya masih sangaaaat cethek malah boleh dibilang masih "asat"  - sebutan untuk sungai yang kering tanpa air.red - kata orang Jawa.

Tapi saya sudah berani mengeluarkan "dalil" dan beranggapan saya sedang "berdakwah". Woww sombong sekali ya saya .. ?! Mengenang masa-masa itu membuat saya malu dan menyesal karena pernah bersikap jumawa, saya malu karena orang-orang yang dulu saya anggap tidak tahu apa-apa, justru menyimpan banyak ilmu namun mereka sengaja tidak mau menampakkannya... Duhh Gusti .. nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan kulo . (Oh Tuhan Ampunilah seluruh kesalahan hamba).

Apakah Kitab Jawa hanya berisi Ramalan?

Buku yang saya baca ini hanya ringkasan saja, karena memang tidak mudah untuk mendapatkan kitab asli, dan tentunya bahasa juga tulisan yang digunakan masih menggunakan bahasa jawa kuno, tapi kita masih bisa melihat kitab-kitab tersebut tersimpan di beberapa museum Indonesia.

Betapa senang hati saya karena buku ini menggunakan bahasa Indonesia, juga masih menulis bahasa jawa aslinya pada bagian tembang-tembangnya.

Kitab-kitab Jawa karya para pujangga ini bukanlah kitab ecek-ecek yang ditulis dalam waktu singkat, tanpa laku tirakat, kemudian ketika sudah "terbit" hanya beredar sebentar lalu dilupakan pembacanya.

Dari penjelasan penulis buku ini, Kitab Jawa adalah karya monumental setiap pujangga yang menulisnya. Mereka benar-benar menulis dengan hati, karya-karya mereka terbilang everlasting alias abadi, ajaibnya lagi kitab-kitab tersebut masih tetap relevan ketika diperbincangkan pada masa kini.



Jangan dikira kitab-kitab Jawa itu seperti buku-buku ramalan yang dijual eceran di emperan kaki lima! Kitab yang sedang saya bicarakan ini adalah karya agung pujangga ternama yang hampir semuanya merujuk pada ajaran Islam, tapi sayangnya banyak generasi muda yang tidak mengetahui hal ini.

Keambiguan sejarah benar-benar sukses menutupi kejayaan nenek moyang kita, menjadikan generasi muda malu untuk mengenal budayanya, malu berbicara tentang asal usul leluhurnya, bahkan menganggap ajaran-ajaran Jawa adalah ajaran yang usang dan kuno.

Andai saja kita mengenal dengan baik asal usul dan siapa leluhur kita, mungkin anda tidak perlu jauh-jauh menempuh ilmu ke Amerika, justru mereka yang seharusnya belajar kepada bangsa Indonesia!

Kitab-kitab Jawa tidak hanya berisi tentang ramalan, tapi juga ilmu-ilmu tentang Keesaan Tuhan, budi pekerti, moral, tata susila, bahkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat ramah lingkungan. 



Leluhur kita punya banyak ilmu tentang pendidikan anak, menjadi orang tua, berumah tangga plus hidup bertetangga, bahkan salah satu kitab jawa yang berjudul Serat Chentiniyang merupakan karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru- menuliskan tentang ilmu tata cara bersenggama pada salah satu bab-nya.

Kitab ini adalah karya dari tiga pujangga besar pada jamannya, yaitu Kyai Yasadipura I, Kyai Ranggasutrasno, dan Raden Ngabehi Sastradipura atau disebut juga Kyai Haji Ahmad Ilhar yang diperintah oleh putra mahkota Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Nagara III (Sunan Pakubuwana V), lama penulisannya dimulai dari tahun 1820-1823.

Rata-rata penulis kitab jawa adalah seorang yang alim, pandai, dan banyak mendekatkan diri pada Allah S.W.T dengan cara banyak mengurangi makan dan tidur, istilahnya bersemedi atau tapa brata. Nah jangan terburu-buru menganggap syirik ya .. bukankah ini juga dilakukan Nabi Besar Muhammad s.a.w ketika menyendiri di Goa Hira?

Karena itulah karya-karya pujangga Jawa ini benar-benar abadi, sebab untuk menghasilkan tulisannya tidak main-main, mereka banyak melakukan perenungan, penelitian mendalam, belajar pada guru yang tepat, dan membaca baik kitab karya-karya pujangga Tanah Arab hingga membaca alam.

Kalau boleh dibilang, jaman dulu Jawa adalah pusatnya filosofis handal yang menguasai berbagai bidang ilmu dan kesusastraan melebihi filosof-filosof asal Negeri Barat seperti Plato, Aristoteles, Socrates dan sebagainya.

Mengenai ramalan, Al Quran dan Al Hadits juga ada yang berisi tentang ramalan kan? Ramalan yang dimaksud disini bukanlah meramal nasib, tapi lebih ke future teller, misalnya ayat tentang akan banyaknya orang yang berbondong-bondong masuk Islam, atau hadits tentang orang yang berpakaian tapi telanjang, bukankah itu semua "ramalan" atau boleh dibilang "prediksi" dalam bahasa kekiniannya?

Nah kemampuan meramal atau melihat masa depan itu memang anugerah dari Tuhan kepada para Nabi dan wali serta orang pilihan Allah, karena mereka termasuk dalam Kekasih Allah.



Anda boleh saja tidak mempercayai hal ini sekarang, tapi saya yakin suatu saat nanti jika Allah berkehendak akan memberikan jalan bagi anda untuk mengetahui ilmu-ilmu yang belum anda ketahui, karena sesungguhnya yang kita ketahui ini saat ini baru setetes dari luasnya lautan ilmu Allah, .. InsyaAllah!

Maka dari itu marilah kita sama-sama terus belajar dan jangan berbangga dulu akan ilmu yang sedang atau sudah kita pelajari. Merujuk kembali pada kalimat orang bijak, ketika berilmu jadilah seperti tanaman kacang, yang semakin berisi semakin menyembunyikan akar dan bijinya kedalam bumi.


Ramalan Serat Wedhatama

Bagian ini adalah saduran dari buku yang saya maksud diatas. Setiap Kitab Jawa biasanya dituliskan dalam bentuk tembang/lagu dengan beberapa bagian, ada yang disebut Pangkur, Sinom, Pucung, Gambuh, Kinanthi, Dhandanggulo dan sebagainya.

Serat Wedhatama itu sendiri berasal dari 3 suku kata, Serat yang berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, Wedha yang berarti pengetahuan atau ajaran, dan Tama berasal dari kata utama yang berarti baik, tinggi, atau luhur, (Abimanyu, Soedjipto. 2014)

Bait-bait yang ternyata isinya sekarang sedang terjadi di Indonesia, diambil dari tembang Pucung yang berisi 16 bait, tapi dibuku ini hanya ditulis 15 bait. Berikut saya sadurkan isinya sebagai berikut, adapun yang termasuk ramalan, tulisannya saya bold :

Bait 1:

 "Ngelmu iku, kalakone kanthi laku, lekase lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangkese dur angkara."

Ilmu (hakikat) itu diraih dengan cara menghayati dalam setiap perbuatan, dimulai dengan kemauan. Artinya kemauan membangun kesejahteraan, teguh membudidaya menaklukkan semua angkara.

Bait 2:

"Angkara gung, neng angga anggung gumulung, gogolonganira triloka, lekere kongsi, yen den umbar ambabar dadi rubeda."

Nafsu angkara yang besar ada didalam diri, kuat menggumpal, menjangkau hingga tiga zaman, jika dibiarkan berkembang akan berubah menjadi gangguan.

Bait 3:

"Beda lamun, kang wus sengsem reh ngasamun, semune ngaksama, sasamane bangsa sisip, sarwa sareh saking mardi martto tama."

Berbeda dengan yang sudah menyukai dan menjiwai, watak dan perilaku memaafkan pada sesama selalu sabar berusaha menyejukkan suasana.

Bait 4:

"Taman limut, durgameng tyas kang weh limput, kereming karamat, karana karohaning sih, sihing sukma ngreda sahardi gengira."

Dalam kegelapan, angkara dalam hati yang menghalangi, larut dalam kesakralan hidup, karena tenggelam dalam samudra kasih sayang, kasih sayang sukma (sejati) tumbuh berkembang sebesar gunung.

Bait 5:

"Yekut patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna."

Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti seperti semua nasihatku. Jangan seperti zaman nanti, banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat.

Bait 6:

"Durung pecus, kesusu kaselak besus, amaknani lapal, kaya sayid weton Mesir, pendhak-pendhak angendhak gunaning janma."

Belum  mumpuni sudah berlagak pintar. Menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir, setiap saat meremehkan kemampuan orang lain.

Bait 7:

"Kang kadyeku, kalebu wong ngaku-aku, akale alangka, elok jawane denmohi, paksa ngangkah langkah met kawruh ing Mekah."

Yang seperti itu termasuk orang mengaku-aku, kemampuan akalnya dangkal, keindahan ilmu Jawa malah ditolak. Sebaliknya memaksa diri mengejar ilmu di Makkah.

Bait 8:

"Nora weruh, rosing rasa kang rinuruh, lumekting angga, anggere padha marsudi, kana-kene kaanane nora beda."

Tidak memahami hakikat ilmu yang dicari, sebenarnya ada di dalam diri. Asal mau berusaha sana sini [ilmunya] tidak berbeda.

Bait 9: 

"Uger lugu, den ta mrih pralebdeng kalbu, yen ersu ersua, ing drajat kajating urip, kaya kang wus winahyeng sekar srinata."

Asal tidak banyak tingkah, agar supaya merasuk ke dalam sanubari. Bila berhasil, terbuka derajat kemuliaan hidup yang sebenarnya, seperti yang telah tersirat dalam tembang sinom.

Bait 10:

"Basa ngelmu, mupakate lan panemu, pasahe lan tapa, yen satriya tanah Jawi, kuna-kuna kang ginilut triprakara."

Yang namanya ilmu, dapat berjalan bila sesuai dengan cara pandang kita. Dapat dicapai dengan usaha yang gigih. Bagi satria tanah Jawa, dahulu yang menjadi pegangan adalah tiga perkara.

Bait 11:

"Lila lamun, kelangan nora gegetun, trima yen ketaman, sakserik sameng dumadi, trilegawa nalangsa srahing Batara."

Ikhlas bila kehilangan tanpa menyesal, sabar jika hati disakiti, ketiga lapang dada sambil berserah diri kepada Tuhan.

Bait 12:

"Batara gung, inguger graning jajantung, jenak Hayang Wisesa, sana paseneten suci, nora kaya sing mudha mudhar angkara."

Tuhan Maha Agung diletakkan dalam setiap hela napas, menyatu dengan Yang Maha Kuasa, teguh menyucikan diri, tidak seperti yang muda, mengumbar nafsu angkara.

Bait 13:

"Nora uwus, kareme anguwus-uwus, uwose tan ana, mung janjine muring-muring, kaya buta buteng betah nganiaya."

Tidak henti-hentinya gemar mencaci maki. Tanpa ada isinya kerjaannya marah-marah seperti raksasa; bodoh, mudah marah dan menganiaya.

Bait 14:

"Sakeh luput, ing angga tansah linimput, linimpet ing sabda, narka tan ana udani, lumuh ala ardane ginawe gada."

Semua kesalahan dalam diri selalu ditutupi, ditutup dengan kata-kata mengira tak ada yang mengetahui, bilangnya enggan berbuat jahat padahal tabiat buruknya membawa kehancuran.

Bait 15:

"Durung punjul, ing kawruh kaselak jujul, kaseselan hawa, cupet kapepetan pamrih, tangeh nedya anggambuh mring Hyang Wisesa."

Belum cakap ilmu buru-buru ingin dianggap pandai. Tercemar nafsu selalu merasa kurang, dan tertutup oleh pamrih, sulit untuk manunggal pada Yang Maha Kuasa.

Nah itulah isi dari tembang Pucung dari Kitab Wedhatama, mari sama-sama kita renungkan dari beberapa bait yang saya tebalkan, merenung dengan hati dan kepala yang dingin serta meninggalkan paham "fanatisme" akan segala sesuatu yang kita pahami.

Mari kita sama-sama bertanya pada hati nurani, apakah yang sedang terjadi di Indonesia? apakah benar mereka membawa Islam yang Rahmatan Lil 'Alamin? ataukah seperti yang dikatakan dalam kitab wedhatama, bahwa mereka "terlalu bernafsu" untuk unjuk ilmu yang masih belum seberapa?

Jawabannya saya kembalikan pada anda para pembaca 😉😊 terima kasih sudah sudi membaca dari awal hingga akhir, semoga kita menjadi pribadi yang terus belajar dan disayang Tuhan. Selamat berakhir pekan!

13 comments:

  1. wah bsia saja jadi benar ya, kadang emreka melihat dari alam , dari jiwa dan banyak hal lainnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak sepakat dengan mbak Tira, terima kasih sudah berkunjung ya :)

      Delete
  2. Keren ih bacaannya, kitab Jawa Kuno.
    Bicara ramalan, ilmu statistik itu penuh dengan ramalan, seperti debit banjir kala ulang dan lain sebagainya. Masa ga boleh percaya?! Buktinya dijadikan dasar dalam mendesain bangunan tuh.
    Orang Jawa dulu keren2 ya, Taat kepada Allah, suka tirakat (tidak bergaya hidup mewah) dan yang penting tidak sombong.

    ReplyDelete
  3. Saya sering sekali bertemu dengan orang bertipe seperti pada bait 6 di atas. Biasanya, saya akan menyikapinya dengan terlebih dahulu merendahkan diri, tapi kemudian kurendahkan dia. 😂

    Keren, mbak. Terimakasih sharenya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahahaha memang menyebalkan kalo bertemu orang tipe seperti itu, maturnuwun mas rosyid sudah mau berkunjung ulang dan menuliskan komentar setelah kmrn trouble hahaha

      Delete
  4. Naudzubillahi min dzalik ya mba :(

    "Yekut patut, tinulad-tulad tinurut, sapituduhira, aja kaya jaman mangkin, keh pramudha mundhi dhiri lapel makna."

    Itulah yang pantas ditiru, contoh yang patut diikuti seperti semua nasihatku. Jangan seperti zaman nanti, banyak anak muda yang menyombongkan diri dengan hafalan ayat.

    Saya orang Jawa, tapi krama inggil menyerah sepenuhnya karena dari kecil biasa pakai bahasa Indonesia. Saya banyak juga baca proverb dr barat, atau Jepang....tapi baca dari blog mba ini. Wah wah.....apa yah, kontemplasi para filsuf asli Jawa ga kalah hebat dengan yg di luar negeri. Malah yang seperti ini sangat lebih relevan dengan keadaan di Indonesia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbak, saya jadi lebih ingin tahu banyak tentang Kitab-kitab Jawa, sayangnya literaturnya terbatas, kebanyakan dalam bentuk skripsi, tesis atau penelitian

      Delete
  5. Sekarang makin banyak dicetak dalam bentuk menarik, saya ada peninggalan simbah dulu buku cetakan lawas dari primbon2, tapi ya gitu, gak tak baca, susah bacanya bahasa jawa dan ejaan lama.

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah beruntungnya kamu kalo masih punya buku-buku kuno

      Delete
  6. Masyarakat kuno biasanya memiliki ilmu tersendiri melihat dan mengamati peristiwa alam. Kalo jawa ilmu titen kyaknya. Iya g?

    ReplyDelete
  7. 5,6,7 yg lagi sering2nya terjadi di Indonesia yaa :p. Aku sampe udh jrg nonton tivi krn eneg liat berita2 dr para 'orang yg ngaku pintar dan alim' gitu mba :p.

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung, sampaikan salam anda disini ya :)